Selasa, 15 November 2011

Pernikahan Jawa


MIDODARENI (WIDODAREN)



I.     PENDAHULUAN

Masyarakat Jawa adalah masyarakat yang mempunyai sifat religius dan ber Tuhan. Sebagian besar orang Jawa memeluk agama Islam, namun terdapat beberapa ragam dalam pengamalan agama Islam. Pengeruh Islam yang begitu besar di Jawa, dan juga kuatnya masyarakat mempertahankan budaya Jawa, mengharuskan keduanya melebur menjadi satu. Peleburan dan percampuran yang merupakan ciri khas singkretisme, budaya itu berlangsung secara damai. Hal ini disebabkan karena di samping pandangan Jawa yang tepo sliro, juga metode penyebaran Islam oleh Walisongo yang elastis dan akomodatif terhadap unsur-unsur lokal.
Sinkretisme tidak hanya menghasilkan satu saja, hampir semua kebudayaan Jawa dirubah menjadi model singkretisme. Disini pemakalah akan menerangkan tentang “Midodareni(Widodaren)”.



II.  RUMUSAN MASALAH
  1. Pengertian Midodareni
  2. Saat Berlangsungnya Midodareni
  3. Tahapan Pelaksanaan Midodareni









III.             PEMBAHASAN

  1. Pengertian Midodareni

Midodareni (Jawa Tondano) asal kata medon dan bidadari. Midon artinya turun, jadi midodareni artinya turunnya bidadari. Bidadari adalah perlambang bagi calon mempelai wanita . oleh karena itu bidadari itu suci, maka baginya disediakan hamparan untuk landasan kedua kakinya tatkala dia turun ke bumi , karena kedua telapak kakinya tidak boleh menyentuh tanah yang mengandung najis, hal mana pantang bagi bidadari. Dihiasinya hamparan itu begitu sedemikian rupa, ialah dengan maksud agar bidadari itu merasa senang dan bahagia berada di Bumi seperti ia merasakan ditempat asalnya sendiri di Khayangan.
Perlu diketahui bagi jejaka dan gadis yang menyeleweng melakukan pelanggaran agama, tidak dibenarkan diberlakukan upacara upacara seperti ini,karena dalam hukum Syara’ Islam telah ditentukan dan Hukum dalam hal ini harus diikuti dengan keras “LA TAQRABU ZINA” janganlah mendekati zina.[1]
Sedangkan dalam kalangan muslim yang taat beragama, ritual ini diisi dengan pembacaan berzanji, kalimah thoyibah, dan tahlil.[2] Pada malam midodareni, orang akan mengadakan sajian khusus. Jenis sajian dan banyaknya makanan tidak ditentukan, semuanya tergantung pada keadaan ekonomi penyelenggara acara pesta.[3]

  1. Saat Berlangsungnya Midodareni
Dalam upacara midodareni, pengantin putri mengenakan mengenakan busana polos artinya dilarang mengenakan perhiasan apapun kecuali cincin kawin.  Dalam malam midodareni itulah baru dapat dikatakan pengantin dan sebelumnya disebut calon pengantin. Pada malam itu pengantin putra datang ke rumah pengantin putri. Untuk model Yogyakarta pengantin putra mengenakan busana kesatrian yaitu baju surjan, blangkon model Yogyakarta, kalung korset, mengenakan keris, sedangkan untuk model Surakarta pengantin putra mengenakan busana pangeran yaitu mengenakan jas beskap, kalung korset dan mengenakan keris pula. Untuk mempermudah maka pengantin putra pada waktu malam midodareni boleh mengenakan jas lengkap dengan mengenakan dasi asal jangan dasi kupu-kupu. Kira-kira pukul 19.00, pengantin putra datang ke rumah pengantin putri untuk berkenalan dengan keluarga dan rekan-rekan pengantin putri. Setibanya pengantin putra, maka terus diserahkan pada Bapak dan Ibu pengantin putri. Setelah penyerahan diterima, pengantin putra diantarkan ke pondok yang telah disediakan yang jaraknya tidak begitu berjauhan dengan rumah pengantin putri. Pondokan telah disediakan makanan dan minuman sekedarnya dan setelah makan dan minum ala kadarnya maka pengantin putra menuju ke tempat pengantin putri untuk menemui tamu secukupnya kemudian pengantin putra kembali ke pondokan untuk beristirahat. Jadi jangan sampai jauh malam, karena menjaga kondisi fisik seterusnya. Jadi kira-kira pukul 22.00 harus sudah kembali ke pondokan. Hal ini perlu mendapatkan perhatian  sepenuhnya agar jangan sampai pengantin menjadi kelelahan karena kurang tidur. Setelah upacara malam midodareni ini masih disusul dengan upacara-upacara lainya yang kesemuanya itu cukup melelahkan kedua pengantin.
Pada malam midodareni pengantin putri tetap di dalam kamar pengantin dan setelah pukul 24.00 baru diperbolehkan tidur. Pada malam ini biasanya para tamu berpasangan suami istri. Keadaan malam midodareni harus cukup tenang dan suasana khidmat, tidak terdengar percakapan-percakapan yang terlalu keras. Para tamu bercakap-cakap dengan tamu lain yang berdekatan saja. Pada pukul 22.00-24.00 para tamu diberikan hidangan makan dan sedapat  mungkin nasi dengan lauk-pauk opor ayam dan telur ayam kampung, ditambah dengan lalapan daun kemangi. [4]
 
  1. Tahapan Pelaksanaan Midodareni
Dalam upacara midodareni itu terdapat tahapan-tahapannya, yaitu sebagai berikut:
Ø  Jonggolan/ Nyantri
Jonggolan/Nyantri adalah datangnya calon pengantin putra ke tempat calon mertua. “Njonggol” diartikan sebagai menampakkan diri. Tujuanya untuk menunjukkan bahwa dirinya dalam keadaan sehat dan selamat, hatinya telah  mantap untuk menikahi putri mereka. Pada malam midodareni, calon pengantin putra melakukan jonggolan tidak didampingi oleh orang tuanya, namun hanya didampingi oleh wakil keluarga yang telah ditunjuk oleh orang tua pengantin putra. Pada malam midodareni calon pengantin pria memberikan calon pengantin putri berupa bingkisan yang berisi semua kebutuhan sehari-hari calon pengantin putri. Bingkisan ini biasanya disebut seserahan dan harus dalam jumlah ganjil. Selama berada di rumah calon pengantin putri, calon pengantin pria menunggu di beranda(pondok) dan hanya disuguhi air putih oleh calon mertua(ibu calon pengantin putri).

Ø  Tantingan
Setelah calon pengantin putra datang menunjukkan kemantapan hatinya dan diterima niatnya oleh keluarga calon pengantin putri, saatnya  calon pengantin putri (sekali lagi) ditanya oleh kedua orang tuanya tentang kemantapan hatinya. Pada malam midodareni calon pengantin putri hanya diperbolehkan berada di dalam kamar pengantin. Dan yang  dapat melihat hanya saudara dan tamu yang putri saja. Para gadis dan ibu-ibu. Kedua orang tua mendatangi calon pengantin putri di dalam kamar, menanyakan kemantapan hatinya untuk berumah tangga. Maka calon pengantin putri akan menyatakan ikhlas menyerahkan sepenuhnya kepada orang tua.

Ø  Pembacaan dan penyerahan catur wedha
Catur wedha adalah wejangan yang disampaikan oleh calon bapak mertua (bapak calon pengantin putri) kepada calon pengantin putra. Catur wedha ini berisi empat pedoman hidup, diharapkan catur wedha ini menjadi bekal untuk calon pengantin dalam mengarungi hidup berumah tangga  nanti.

Ø  Wilujengan majemukkan
Wilujengan majemukkan adalah silaturahmi antara keluarga calon pengantin putra dan putri yang bermakna kerelaan kedua belah pihak untuk saling berbesan. Selanjutnya ibu calon pengantin putri menyerahkan angsul-angsul atau oleh-oleh berupa makanan untuk dibawa pulang, orang tua calon pengantin putri memberikan kepada keluarga calon pengantin putra.[5]




IV.             KESIMPULAN

Midodareni (Jawa Tondano) asal kata medon dan bidadari. Midon artinya turun, jadi midodareni artinya turunnya bidadari. Bidadari adalah perlambang bagi calon mempelai wanita . oleh karena itu bidadari itu suci, maka baginya disediakan hamparan untuk landasan kedua kakinya tatkala dia turun ke bumi , karena kedua telapak kakinya tidak boleh menyentuh tanah yang mengandung najis, hal mana pantang bagi bidadari. Sedangkan dalam kalangan muslim yang taat beragama, ritual ini diisi dengan pembacaan berzanji, kalimah thoyibah, dan tahlil.
Dalam upacara midodareni, pengantin putri mengenakan mengenakan busana polos artinya dilarang mengenakan perhiasan apapun kecuali cincin kawin.  Dalam malam midodareni itulah baru dapat dikatakan pengantin dan sebelumnya disebut calon pengantin. Pada malam itu pengantin putra datang ke rumah pengantin putri. Untuk Yogyakarta pengantin putra mengenakan busana kesatrian yaitu baju surjan, blangkon model Yogyakarta, kalung korset, mengenakan keris, sedangkan untuk model Surakarta pengantin putra mengenakan busana pangeran yaitu mengenakan jas beskap, kalung korset dan mengenakan keris pula.
Tahapan-tahapan dalam midodareni yaitu:
a)      Jongolan/ Nyantri, yaitu datangnya calon pengantin putra ke tempat calon mertua.
b)      Tantingan, yaitu menanyakan kemantapan hati calon pengantin putri untuk berumah tangga.
c)      Pembacaan catur wedha, yaitu wejangan dari bapak mertua kepada calon pengantin putra yang berisi empat pedoman hidup.
d)     Wilujengan Majemukan, yaitu silaturahmi yang bermakna kerelaan antara kedua belah pihak untuk berbesan.

V.  PENUTUP

Demikian sedikit paparan yang dapat penulis sampaikan dalam makalah ini. Penulis sadar masih banyak kekurangn dan kesalahan dalam penulisannya. Oleh sebab itu, kritik dn saran akan kami terima dengan lapang, guna kesempurnaan makalah mendatang. Tak lupa kami sampaikan permohonan ma’af bila dalam penulisan ini terdapat kata- kata yang kurang berkenan bagi pembaca. Semoga makalah ini bermanfa’at bagi kita. Amin.....


[1] http:// lovejurnal. Wijanarti. Com /2008/07/03.
[2] Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gema media,2000), hlm. 104
[3] Capt R. P. Suyono, Dunia Mistik Orang Jawa, (Yogyakarta: PT Pelangi Aksara, 2007), hlm. 135
[4] Thomas Wiyasa Bratawijaya, Mengungkap dan Mengenal Budaya Jawa, (Jakarta: PT Pradya Pramita, 1997), hlm. 145
[5] Lovejurnal. Wijanarti. Com, Op. Cit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar