Selasa, 20 November 2012

Sekilas PTK


Pengertian Penelitian Tindakan Kelas (PTK) merupakan ragam penelitian pembelajaran yang berkonteks kelas yang dilaksanakan oleh guru untuk memecahkan masalah-masalah pembelajaran yang dihadapi oleh guru, memperbaiki mutu dan hasil pembelajaran dan mencobakan hal-hal baru pembelajaran demi peningkatan mutu dan hasil pembelajaran. clip_image003%25255B4%25255D PTK atau action research mulai berkembang sejak perang dunia ke dua, saat ini PTK sedang berkembang dengan pesatnya di negara-negara maju seperti Inggris, Amerika, Australia, dan Canada.
Para ahli penelitian pendidikan akhir-akhir ini menaruh perhatian yang cukup besar terhadap PTK. Menurut Stephen Kemmis seperti dikutip D. Hopkins dalam bukunya yang berjudul A Teacher’s Guide to Classroom Research, menyatakan bahwa action research adalah: a from of self-reflektif inquiry undertaken by participants in a social (including education) situation in order to improve the rationality and of (a) their own social or educational practices justice (b) their understanding of these practices, and (c) the situastions in which practices are carried out.
Secara singkat PTK adalah suatu bentuk kajian yang bersifat reflektif oleh pelaku tindakan, untuk meningkatkan kemantapan rasional dari tindakan-tinakan mereka dalam melaksanakan tugas, memperdalam pemahaman terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan, serta memperbaiki dimana praktek-praktek pembelajaran dilaksanakan. Action research dipandang sebagai suatu cara untuk memberi ciri bagi seperangkat kegiatan yang direncanakan untuk meningkatkan mutu pendidikan; pada pokoknya ia merupakan suatu cara eklektik yang dituangkan ke dalam suatu program refleksi-diri (self-reflection) yang ditujuan untuk peningkatan mutu pendidikan.
Action research adalah suatu bentuk penelitian refleleksi-diri yang dilakukan oleh para partisipan (guru,siswa,atau kepala sekolah,) dalam situasi-situsi social (termasuk pendidikan) untuk memperbaiki rasionalitas dan kebenaran (a) preaktek-praktek sosial atau pendidikan yang dilakukan sendiri, (b) pengertian mengenai praktek-praktek ini, dan (c) situasi-situasi (dan lembaga-lembaga) di mana praktek-praktek tersebut dilaksanakan. Action research adalah suatu pendekatan untuk memperbaiki pendidikan melalui perubahan, dengan mendorong para guru untuk memikirkan praktek mengajarnya sendiri, agar kritis terhadap praktek tersebut, dan agar mau untuk memperbaikinya. Penelitian tindakan merupakan intervensi praktik dunia nyata yang ditujukan untuk meningkatkan situasi praktis

Jumat, 09 November 2012

SHALAT BERJAMAAH


Sebuah fakta yang ada di depan mata kita, banyaknya kaum muslimin sekarang yang meremehkan shalat terlebih shalat berjamaah di masjid. Tidak ragu lagi bahwa fakta di atas merupakan kemungkaran yang tidak boleh didiamkan dan diremehkan.
Sebagai seorang muslim kita pasti mengerti tentang kedudukan shalat yang begitu tinggi dalam Islam. Betapa sering Alloh dan RasulNya menyebut kata shalat, memerintah melaksanakannya secara tepat waktu dan berjamaah, bahkan bermalas-malasan darinya merupakan salah satu tanda kemunafikan.
Tanyakan pada hati kita masing-masing, “pantaskah bagi seorannnng muslim meremehkan suatu perkara yang sangat diagungkan oleh Robbnya, nabinya dan agamanya? Apa yang kita harapkan di dunia ini? Bukankah surga yang penuh kenikmatan dan kelezatan yang kita harapkan? Dan siapakah diantara kita yang mau meniru gaya hidup orang-ornag munafiq?
Berikut ini pembahasan singkat tentang shalat berjamaah sebai nasehat dan peringatan bagi saudara-saudara saya seagama. Semoga Alloh menjadikannya bermanfaat bagi kita semua.
وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنفَعُ الْمُؤْمِنِينَ
Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman. (QS. Adz-Dzariyat: 55)


SYARIAT SHALAT BERJAMAAH
Shalat berjamaah bagi muslim laki-laki adalah disyariatkan tanpa ada perselisihan di kalangan para ulama. Imam Nawawi berkata, “Shalat berjamaah diperintahkan berdasarkan hadits-hadits yang shahih dan masyhur serta ijma’ (kesepakatan)kaum muslimin. (Al Majmu’ 4/84)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juga berkata, “Para ulama bersepakat bahwa shalat berjamaah termasuk amal ibadah dan syi’ar Islam yang sangat agung. Barangsiapa yang beranggapan shalatnya yang sendirian lebih utama dari pada berjamaah maka dia telah keliru dan tersetsat. Lebih tersesat lagi jika beranggapan tidak ada shalat berjamaah kecuali dibelakang imam yang ma’sum sehingga mereka menjadikan masjid sepi dari shalat berjamaah yang diperintahkan Alloh dan RasulNya. Sebaliknya mekera meramaikan masjid dengan kebid’ahan dan kesesatan yang dilarang Alloh dan RasulNya. (Majmu’ Fatawa 23/222 Al Fatawa Al kubro 2/267).
HUKUM SHALAT BERJAMAAH
Para ulama berselisih pendapat tentang hukum shalat berjamaah sehingga terpolar menjadi empat pendapat (sunnah mu’akkad, fardhu kifayah, fardhu ain dan syarat sah) namun pendapat yang kuat –Wallohu a’lam- pendapat ulama yang mengatakan fardhu ain dikarenakan dalil-dali yang mereka paparkan begitu banyak dan kuat sekali[1] diantaranya:
Dalil Al Qur’an
Alloh berfirman,
وَإِذَا كُنتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاَةَ فَلْتَقُمْ طَآئِفَةُُ مِّنْهُم مَّعَكَ وَلِيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِن وَرَآئِكُمْ وَلْتَأْتِ طَآئِفَةٌ أُخْرَى لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ وَدَّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ تَغْفُلُونَ عَنْ أَسْلِحَتِكُمْ وَأَمْتِعَتِكُمْ فَيَمِيلُونَ عَلَيْكُم مَّيْلَةً وَاحِدَةً وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن كَانَ بِكُمْ أَذًى مِّن مَّطَرٍ أَوْ كُنتُم مَّرْضَى أَن تَضَعُوا أَسْلِحَتَكُمْ وَخُذُوا حِذْرَكُمْ إِنَّ اللهَ أَعَدَّ لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُّهِينًا
Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat bersamamu) sujud (telah menyempurnakan  satu rakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu shalatlah mereka denganmu ( QS. An Nisa’ 102)
Ayat ini merupakan dalil yang sangat jelas bahwa shalat berjamaah hukumnya fardhu ain bukan hanya sunnah atau fardhu kifayah,  Seandainya hukumnya sunnah tentu keadaan takut dari musuh adalah udzur yang utama. Juga bukan fardhu kifayah karena Alloh menggugurkan kewajiban berjamaah atas rombongan kedua dengan telah berjamaahnya rombongan pertama. (Kitab Sholah hal. 138, Ibnu Qoyyim)
Al Alamah As- Sinqithi berkata dalam Adwaul Bayan 1/216, “ayat ini merupakan dalil yang sangat jelas tentang wajibnya shalat berjamaah.”
Alloh berfirman,
وَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’ (QS. Al-Baqarah: 43)
Imam Ibnu katsir berkata dalam tafsirnya 1/162, ”Mayoritas ulama[2]  berdalil dengan ayat ini tentang wajibnya wajibnya shalat berjamaah.
DALIL HADITS
Dari Abu Hurairah bahwasannya Rasulullah bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, sungguh aku berkeinginan untuk memerintahkan dengan kayu bakar lalu dibakar, kemudian aku memerintahkan agar adzan dikumandangkan. Lalu aku juga memerintah seorang untuk mengimami manusia, lalu aku berangkat kepada kaum laki-laki (yang tidak shalat) dan membakar rumah-rumah mereka.” (HR. Bukhari 644 dan Muslim 651)
Imam Bukhari membuat bab hadits ini “Bab Wajibnya Shalat Berjamaah”. Al-Hafizh  Ibnu Hajar berkata, “hadits ini secara jelas menunjukkan bahwa shalat berjamaah fardhu ain, sebab jika hukumnya sunnah maka tidak mungkin Rasulullah mengancam orang yang meninggalkannya dengan acaman bakar seperti itu.” (Fathul Bari 2/125).
Ibnu Mudzir [3] juga mengatakan serupa, “Dalam hadits ini terdapat keterangan yang sangat jelas tentang wajibnya shalat berjamaah, sebab tidak mungkin Rasulullah mengancam seorang yang meninggalkan suatu perkara sunnah yang bukan wajib.” (Dinukil Ibnu Qoyyim dalam kitan Sholah hal. 136).
Ibnu Daqiq Al-I’ed berkata, “Para ulama yang berpendapat fardhu ain berdalil dengan hadits ini, sebabb jika hukumnya fardhu kifayah tentunya telah gugur dengan perbuatan Rasulullah dan para sahabat yang bersamanya. Dan seandainya hukunya sunnah tentu pelanggarnya tidak dibunuh. Maka jelaslah bahwa hukunya adalah fardhu ain. (ikamul Ahkam I/164)
Dari Abu Hurairah berkata, “Ada seorang buta [4] datang kepada Rasulullah seraya berkata, “Ya Rasulullah, tidak ada seorang yang menuntunkuke masjid, adakah keringanan bagiku?” Jawab Nabi, “Ya.” Ketika orang itu berpaling, Rasulullah bertanya, “Apakah kamu mendengar adzan?” Jawab orang itu, “Ya.” Kata Nabi selanjutnya, “kalau begitu penuhilah.” (HR . Muslim 653)
Ibnu Qudamahberkata dalam Al-Mughni2/130, “Kalau nabi saja tidak memberi keringanankepada orang buta yang tidak ada penuntun baginya[5] maka selainya tentu lebih utama.”
Al-Khoththobi berkata dalam Ma’alim Sunnah I/160-161, “Dalam hadits ini tekandung dalil bahwa menghadiri shalat berjamaah adalah wajib. Seandainya hukumnya sunnah niscaya orang yang paling berhak mendapatkan udzur adalah kaum lemah seperi Ibnu Ummi Maktum.”



PERKATAAN SAHABAT
Abdullah bin Mas’ud berkata, “Barangsiapa yang ingin berjumpa dengan Alloh besuk (hari kiamat) dalam keadaan muslim, maka hendaknya dia menjaga shalat fardhu dan memenuhi panggilannya, karena hal itu temasuk jalan-jalan petunjuk. Alloh telah mensyaratkan jalan-jalan petunjuk kepada nabi kalian. Seandainya kalian shalat di rumah kalian masing-masing sungguh kalian telah meninggalkan sunnah nabi kalian, niscaya kalian tersesat.
Sungguh tak seorangpun yang berwudzu dengan sempurna lalu pergi ke masjid kecuali Alloh akan menulis atas setiap langkahnya satu kebaikan, mengangkat satu derajat dan menghapus satu dosa.   Sungguh saya berpendapat bahwa tidak ada yang meninggalkannya (shalat berjamaah) kecuali orang munafik yang sangat nyata atau orang yang sakit. Sungguh ada seorang diantara kami yang datang dengan dipapah oleh dua orang lalu didirikan di shaf (Muslim: 654)
Ibnu Qoyyim menjelaskan, “Segi pendalilannya, Ibnu Mas’ud menggolongkan orang yang meninggalkan jamaah dalam koridor orang-orang munafiq yang nyata sedang tanda munafiq bukanlah dengan meninggalkan perkara sunnah atau melakukan yang makruh.” (Kitab Sholah hal. 146)
Beliau juga menukil atsar-atsar serupa dari sahabat lainya seperti Abu Musa Al-Asy’ari, Ali bin Abi Tholib, Abu Hurairah, Aisyah, Ibnu Abbas, lalu berkata, “inilah ucapan para sahabat –sebagaimana kamu lihat- shohih, masyhur dan menyebar. Tak ada seorangpun dari sahabat yang menyelisinya. Sungguh satu atsar saja sudah cukup sebagai dalil masalah ini (wajibnya shalat berjamaah), lantas bagaimana kiranya apabila dalil tersebut saling menguatkan antara satu dengan yang lainnya?!!” (Kitab Sholah hal. 146)
Beliau juga menukil atsar-atsar serupa dari sahabat lainya seperti Abu Musa Al-Asy’ari, Ali bin Abu Tholib, Abu Hurairah, Aisyah, Ibnu Abbas, lalu berkata, “inilah ucapan para sahabat –sebagaimana engkau lihat- shahih dan menyebar. Tak ada seorangpun dari sahabat yang menyelisihinya. Sungguh satu atsar saja sudah cukup sebagai dalil masalah ini (waibnya shalat berjamaah) lantas bagaimana kiranya jika dalil tersebut menguatkan satu sama lainnya?! (Kitab Sholah hal. 153-154)
Walhasil shalat berjamaah hukumnya fardhu ain [6] berdasarkan argumen-argumen yang telah kami ketengahkan sebagiannya –dan masih banyak lagi lainnya-. Maka setelah jelas dalil-dalil tersebut diatas, sungguh tidak pantas seseorang untuk mengburkan masalah ini dengan ucapan yang sering kita dengar, “Masalah ini kan diperselisihkan para ulama, kenapa kita mesti ngotot. Bukankah kita harus toleran dan berlapang dada dalam masalah khilafiyah?! Kami katakan, “Kalimatul Haq urida biha bathil (Ucapan benar tap dimaksudkan untuk kebatilan” bukankah alasan di atas hanya untuk……………. Tahukah anda maksud mereka di balik itu?! Sesungguhnya mereka hanya ingin lari dari shalat berjamaah dan merasa sudah banyak pahala, tidakkah mereka membaca ayat Alloh,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرُُ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
 Hai orang-orang yang beriman, taatilah Alloh dan ta’atilah Rasul Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An Nisa’: 59)
Yang perlu diketahui bahwasannya sekalipun para ulama berselisih tentang hukum shalat berjamaah, tetapi mereka sepakat bahwa, “Tidak ada rukhsah (keringanan) dalam meninggalkan jama’ah, baik kita katakan sunnah atau wajib/fardhu kifayah kecuali karena udzur umum atau khusus.” (Raudhah Tholibin I/344 oleh Imam Nawawi).
HIKMAH SHALAT BERJAMAAH
Syariat Islam mengandung hikmah yang tinggi dan menakjubkan, tidakada untaian kata yang dapat menerangkan dan akal yang bisa mengunggulinya. Bila kita mengetahui hikmah dari sebuah syari’at tertentu, kita akan semakinmantap sekalipun jika kita tidak mengetahuinya kita tetap wajib mematuhinya.
Diantara hikmah disyariatkannya shalat berjamaah;
1. Mengokohkan persaudaraan sesama muslim
  • Mereka saling mencintai antar sesama, karena kebersamaan dan berkumpulnya mereka di satu tempat, satu ibadah, satu imam.
  • Mereka akan saling mengenal, betapa banyak perkenalan dan persahabatan yang terjalin di masjid.
  • Mereka mempunyai perasaan sama dalam ibadah, tiada perbedaan antara si miskin dan si kaya, petinggi dan petani dan seterusnya.
  • mereka saling membantu dan mengetahui keadaan saudaranya yang fakir atau sakit kemudian berusaha memenuhi dan meringankannya.
2. Menampakkan syiar Islam dan izzah kaum muslimin. Karena syiar Islam yang paling utama adalah shalat. Seandainya kaum muslimin shalat di rumahnya masing-masing, mungkinkah syiar Islam akan tampak?! Sungguh dibalik keluar masuknya umat Islamke masjid terdapat izzah (kemuliaan/kejayaan) yang sangat dibenci musuh-musuh Islam[7].
3. Kesempatan menimba ilmu. Betapa banyak orang mendapat hidayah, ilmu dan cahaya lewat perantara shalat berjamaah.
4. Belajar disiplin (lihat syarh Mumti 4/135-137, Ibnu Utsaimin)
BEBERAPA MASALAH SEPUTAR SHALAT BERJAMAAH
A. Shalat berjamaah bagi wanita
Kaum wanita tidak wajib shalat berjamaah di masjid dengan kesepakatan ulama (Mausu’ah Ijma 2/622). Namun mereka boleh berjamaah di masjid dengan syarat tidak boleh bersolek/berdandan dan memakai parfum. Shalat di rumah lebih baik bagi mereka. (Lihat “Shalat Berjamaah Bagi Wanita “, Majalah AL FURQON Ed 6/II)
Dan disyari’atkan bagi sekumpulan wanita untuk menunaikan shalat secara berjama’ah baik di rumah, ma’had dll dengan kesepakatan ulama. (Al-Majmu 4/96 Nawawi. Al-Muhalla 3/171 Ibnu Hazm). Barangsiapa yang menyelisihi ini maka pendapatnya tertolak. (I’lam Muwaqqi’in 3/357, Ibnu Qoyyim).
Faedah: Posisi imam kaum wanita sesama mereka adalah di tengah-tengah makmum shaf pertamasebagaimana praktekUmmul mukminin Aisyah dan Ummu Salamah. (Lihat Al-Muhalla 3/171-172).
B. BERJAMAAH DI RUMAH?
Ketahuilah bahwa asal syariat shalat berjamaah adalah di masjid, tidak boleh meninggalkan masjid tanpa udzur(Ihkam Ahkam 2/114, Ibnu Daqiq). Ibnu Qoyyim berkata, “Barangsiapa yang mengkaji sunnah dengan seksama, niscaya akan jelas baginya bahwa jamaah di masjid adalah fardhu ain kecuali karena udzur, dengan demikian meninggalkan masjid tanpa udzur seperti halnya meninggalkan jama’ah.” (Kitab Sholah, 166)
C. BATAS MINIMAL SHALAT BERJAMAAH
Batas minimalnya dua orang, semakin banyak semakin utama. Hal ini merupakan kesepakatan ulama sebagaimana dinukil oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni 2/177 dan Ibnu hubairah dalam al Ifshah I/155.
D. UDZUR TIDAK BERJAMAAH
“Tidak ada rukhsah (keringanan) untuk meninggalkan jamaah, baik kita katakan sunnah atau fardhu kifayah kecuali karena udzur umum atau khusus.” (Raudhah Thalibin I/344 Nawawi).
Contoh udzur umum seperti hujan deras, baik siang atau malam, angin kencang sekali dan udara dingin yang sangat. Para ulama talah bersepakat tentang bolehnya. (Tharhu Tatsrib 2/317, Al-Iraqi)
Contoh udzur secara khusus seperti; sakit parah, takut terhadap dirinya , harta dan kehormatannya. Hal ini tidak ada perselisihan tentang bolehnya. ( Al-Mushanaf  I/351). Contoh lainnya, menahan berak/kencing, dan masih banyak lagi lainnya. Imam Suyuti berkata, “Udzur tidak shalat berjamaah ada empat puluh jenis.” (Al-Asybah wa Nadhoir Hal. 439-440)
E. BOLEHKAH MENINGGALKAN JAMA’AH KARENA KEMUNGKARAN MASJID/IMAM
Sebagian orang terkadang meninggalkan jamaah dengan alasan karena masjid di kampungnya terdapat bid’ah seperti sholawatan/dzikir jama’ah atau semisalnya, maka perlu diketahui bahwa alasan tersebut tidak menghalangi shalat berjamaah. Lihat fatawa Lajnah Daimah 7/305)
Ada juga yang beralasan karena imam shalatnya terjerumus dalam kemaksiatan, dosa dan bid’ah (yang tidakmengkafirkan), maka inipun alasan yang tidak dibenarkan, bahkan sebagaimana kata Hasan Al-bashri ketika ditanya tentang hukum shalat di belakang ahli bid’ah, beliau menjawab, “Shalatlah dan dosa bid’ahnya dia yang menanggungnya.”
Tetapi jika ada masjid/imam yang utama maka itu lebih utama.
F. BERJAMAAH DI BELAKANG TV/RADIO
Termasuk Kebid’ahan modern yang dimunculkan orang-orang pemalas. Perbuatan ini jelas tidak boleh, baik bagi kaum pria maupun wanita, ada udzur maupun tidak sebagaimana fatwa lajnah Daimahno. 2437 tangggal 25/5/1399
PENUTUP
Setelah kita mengetahui bersama hakekat hukum shalat berjamaah, maka merupakan kewajiban bagi setiap untuk memperhatikan masalah ini dengan baik dan bersegera merealisasikannya serta mendakwahkannya kepada anak, keluarga, tetangga dan seluruh saudarnya sesama muslimin untuk menjalankan perintah Alloh dan Rasulullah n/ dan menghindarkan diri dari sifat kaum munafiqin yang telah disifati Alloh dengan sifat-sifat yang jelek , diantaranya adalah malas menjalankan shalat.   Alloh berfirman,
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَاقَامُوا إِلَى الصَّلاَةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَآءُونَ النَّاسَ وَلاَيَذْكُرُونَ اللهَ إِلاَّ قَلِيلاً
Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.(QS. An-Nisa’ 142)


Footnote:
[1] Lihat secara luas Kitab Sohlah oleh Ibnu Qoyyim, beliau t/ telah memaparkan 13 dalil dengan pembahasan memuaskan sebagaimana biasanya.
[2] Sebagian ulama ada yang berpendapat abhwa ayat ini tidak menunjukkan wajibnya shalat berjamaah, diantaranya Syaikh Ibnu Utsaimin dalam tafsirnya 1/157. Ajaibnya beliau menyelisihi kedua gurunya As-Sa’di dalam tafsirnya I/59 dan Ibnu Baz dalam fatawanya 12/15. Ajaibnya lagi ketika penulis mengadu masalah ini kepada tiga masayikh kami (murid-murid Ibnu Utsaimin) yaitu Syaikh Abdur Rahman Ad-Dahsy, Syaikh Sami Ash-Shiggir dan Syaikh Khalid Al-Muslih. Pertama menegaskan bisa dijadikan hujjah, kedua menegaskan tidak bisa dijadikan hujjah ketiga mengatakan bisa tapi tidak secara jelas, namun hanya isyarat!!!
[3] Berkata iImam Nawawi dalam Majmu 4/86, “Pendapat ketiga: Fardhu ain tetapi bukan syrat sah shalat. Hal ini merupakan pendapat dua pakar madzhab Syafi’i  yang mapan dalam bidang fiqih dan hadits, yaitu Abu Bakar bin Khuzaimah, dan Ibnu Mudzir.”
[4] Imam Nawawi berkata, “Maksud orang buta di sini adalah Ibnu Ummi Maktum, sebagaimana ditafsurkan dalam riwayat Abu Dawud dan selainnya.” (Syarah Musli 5/157)
[5] “Bahkan jalannya abnyak pohon dan bebatuab sebagaimana dalam riwayat yang shahih. Apakah setelah ini dikatakan bahwa shalat berjamaah tidak wajib?” (Lihat Tamamul Minnah hal. 275 oleh Al-Albani.
[6] Pendapat inilah yang dikuatkan oleh para ulama sunnah abad ini, seperti Syaikh Ibnu Baz dalam fatawanya 12/14, Al Albani dalam Tamamul Minnah hal 275 dan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Syarh Mumti’ 4/133.
[7] Di bulan Ramadhan , di hari-hari shalat tarawih, dimana kaum muslimin dan muslimat banyak berbondong-bondong ke masjid, sering kali hati penulis trennyuh dengan pemandangan tersebut dan berandai-andai, “Aduhai seandainya semua bulan seperti bulan Ramadhan.”

Kamis, 08 November 2012

Validitas dan Reliabilitas

Validitas dan Reliabilitas

1. Pengertian
Dalam penelitian, baik berbentuk kualitatif maupun kuantitatif, kriteria utama yang harus diperhatikan adalah valid, reliabel, dan objektif. Validitas adalah derajat ketepatan antara data yang terdapat di lapangan dan data yang dilaporkan oleh peneliti. Kalau dalam objek penelitian terdapat warna merah, peneliti akan melaporkan warna merah. Kalau dalam objek penelitian para pegawai bekerja dengan keras, peneliti melaporkan bahwa pegawai bekerja dengan keras. Bila peneliti membuat laporan yang tidak sesuai dengan apa yang terjadi pada objek, data tersebut dapat dinyatakan tidak valid.
Terdapat dua macam validitas penelitian, yaitu validitas internal dan validitas eksternal. Validitas internal berkenaan dengan derajat akurasi antardesain penelitian dan hasil yang dicapai. Kalau desain penelitian dirancang untuk  meneliti etos kerja pegawai, data yang diperoleh seharusnya adalah data yang akurat tentang etos kerja pegawai. Penelitian menjadi tidak valid jika yang ditemukan adalah motivasi kerja pegawai.
Validitas eksternal berkenaan dengan derajat akurasi, dapat atau tidaknya hasil penelitian digeneralisasikan atau diterapkan pada  populasi tempat sampel tersebut diambil. Bila sampel penelitian representatif, instrumen penelitian valid dan reliabel, cara mengumpulkan dan menganalisis data benar, penelitian akan memiliki validitas eksternal yang tinggi.
Reliabilitas berkenaan dengan derajat konsistensi dan stabilitas data atau temuan. Dalam pandangan positivistik (kuantitatif), suatu data dinyatakan reliabel apabila dua atau lebih peneliti dalam objek yang sama menghasilkan data yang sama atau peneliti yang sama dalam waktu yang berbeda menghasilkan data yang sama atau sekelompok data bila dibagi menjadi dua kelompok menunjukkan data yang tidak berbeda. Kalau peneliti satu menemukan dalam suatu objek berwarna merah, peneliti yang lain juga demikian.
Objektivitas berkenaan dengan derajat kesepakatan atau interpersonal agreement antarbanyak orang tentang suatu data. Bila dari 100 orang terdapat 99 orang yang menyatakan bahwa terdapat warna merah dalam objek penelitian itu, sedangkan yang 1 orang lagi menyatakan warna lain, data tersebut adalah data yang objektif. Data yang objektif akan cenderung valid walaupun belum tentu valid. Dapat terjadi suatu data yang disepakati banyak orang belum tentu valid, tetapi yang disepakati oleh sedikit orang malah lebih valid. Orang menyatakan bahwa A bukan pencuri (objektif), dan satu orang menyatakan bahwa A adalah pencuri (subjektif). Ternyata yang benar adalah pernyataan satu orang karena yang 99 orang tersebut teman-teman si A yang sama-sama pencuri sehingga menyatakan si A bukan pencuri.
Dalam penelitian kuantitatif, untuk mendapatkan data yang valid dan reliabel, yang diuji validitas dan reliabilitasnya adalah instrumen penelitian, sedangkan dalam penelitian kualitatif yang diuji adalah datanya. Oleh karena itu, Susan Stainback (1988) menyatakan bahwa penelitian kuantitatif lebih menekankan pada aspek reliabilitas, sedangkan penelitian kualitatif lebih pada aspek validitas.
Dalam penelitian kualitatif, temuan atau data dapat dinyatakan valid apabila tidak ada perbedaan antara yang dilaporkan peneliti dan yang sesungguhnya terjadi pada objek yang diteliti. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa kebenaran realitas data menurut penelitian kualitatif tidak bersifat tunggal, tetapi jamak dan bergantung kepada konstruksi manusia, dibentuk dalam diri seseorang sebagai hasil proses mental dalam setiap individu dengan berbagai latar belakangnya. Oleh keran itu, bila terdapat sepuluh peneliti dengan latar belakang yang berbeda meneliti objek yang sama akan didapatkan sepuluh temuan dan semuanya dinyatakan valid jika yang ditemukan tidak berbeda dengan yang sesungguhnya yang terdapat pada objek yang diteliti.
Pengertian reliabilitas dalam penelitian kuantitatif sangat berbeda dengan reliabilitas dalam penelitian kualitatif. Hal ini terjadi karena terdapat perbedaan paradigma dalam melihat realitas. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa validitas derajat ketepatan antara data yang terjadi pada objek penelitian dan data yang dapat dilaporkan oleh peneliti dengan data yang sesungguhnya terjadi pada objek penelitian, sedangkan reliabilitas berkenaan dengan derajat konsistensi dan stabilitas data atau temuan. Artinya, jika suatu penelitian diterapkan pada objek yang berbeda dengan menggunakan metode dan teknik penelitian yang sama, didapatkan hasil penelitian yang sama.
2. Pengujian Validitas dan Reliabilitas Penelitian kualitatif
Uji keabsahan data dalam penelitian kualitatif meliputi uji credibility (validitas internal), transferability (validitas eksternal), dependability (reliabilitas), dan confirmability (objektivitas).

2.1  Uji Kredibilitas
Pengujian kredibilitas data dapat dilakukan dengan cara perpanjangan pengamatan, peningkatan ketekunan dalam penelitian, triangulasi, diskusi dengan teman sejawat, analisis kasus negatif, dan member check.
Perpajangan pengamatan artinya peneliti kembali ke lapangan, melakukan pengamatan, melakukan wawancara dengan sumber data, baik yang pernah ditemui maupun yang baru ditemui. Dengan perpanjangan pengamatan ini, hubungan peneliti dengan narasumber akan semakin terbentuk dan semakin akrab, semakin terbuka, saling mempercayai sehingga tidak ada informasi yang disembunyikan lagi.
Pada tahap awal memasuki lapangan,  peneliti masih dianggap orang asing, masih dicurigai sehingga informasi yang diberikan belum lengkap, tidak mendalam, dan mungkin masih banyak yang dirahasiakan. Dengan perpanjangan pengamatan ini, peneliti mengecek kembali apakah data yang diberikan selama ini merupakan data yang sudah benar atau tidak. Bila data yang telah diperoleh selama ini setelah dicek kembali pada sumber data asli atau sumber data lain tidak benar, peneliti melakukan pengamatan lagi secara lebih luas dan mendalam sehingga diperoleh data yang pasti kebenarannya. Lamanya perpanjangan pengamatan ini dilakukan sangat bergantung kepada kedalaman, keluasan, dan kepastian data.
Meningkatkan ketekunan berarti melakukan pengamatan secara lebih cermat dan berkesinambungan. Dengan cara tersebut, kepastian data dan urutan peristiwa akan dapat direkam secara pasti dan sistematis. Meningkatkan ketekunan ibarat mengecek soal-soal atau makalah yang dikerjakan, ada yang salah atau tidak. Dengan meningkatkan ketekunan itu, peneliti dapat melakukan pengecekan kembali apakah data yang telah ditemukan itu salah atau tidak. Selain itu, peneliti juga dapat mendeskripsi data secara akurat dan sistematis.
Triangulasi dalam pengujian kredibilitas ini diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara dan berbagai waktu. Dengan demikian, triangulasi terdiri atas triangulasi sumber, triangulasi teknik pengumpulan data, dan waktu. Triangulasi sumber dilakukan dengan cara mengecek data yang diperoleh melalui beberapa sumber. Data yang diperoleh dari beberapa sumber tersebut dideskripsikan, dikategorikan, dan akhirnya diminta kesepakatan (member check) untuk mendapatkan kesimpulan. Triangulasi teknik dilakukan dengan cara mengecek data pada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda. Triangulasi waktu berkaitan dengan keefektifan waktu. Data yang dikumpulkan dengan teknik wawancara di pagi hari pada saat narasumber masih segar dan belum banyak masalah akan memberikan data yang valid sehingga lebih kredibel.
Analisis kasus negatif. Kasus negatif adalah kasus yang tidak sesuai atau berbeda dengan hasil penelitian hingga pada saat tertentu. Peneliti berusaha mencari data yang berbeda atau bahkan bertentangan dengan data yang telah ditemukan. Bila tidak ada lagi data yang berbeda atau bertentangan dengan temuan, berarti data yang ditemukan sudah dapat dipercaya.
Menggunakan bahan referensi. Yang dimaksud dengan bahan referensi adalah adanya pendukung untuk membuktikan data yang telah ditemukan oleh peneliti. Bahan referensi ini dapat berupa foto-foto, rekaman, dan dokumen autentik.
Member check adalah proses pengecekan data yang berasal dari pemberi data. Ia bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh data yang diperoleh sesuai dengan apa yang diberikan oleh pemberi data. Apabila data yang ditemukan disepakati oleh pemberi data, berarti data tersebut valid sehingga semakin kredibel. Namun, jika data yang diperoleh peneliti tidak disepakati oleh pemberi data, peneliti perlu melakukan diskusi dengan pemberi data dan apabila terdapat perbedaan tajam setelah dilakukan diskusi, peneliti harus mengubah temuannya dan menyesuaikannya dengan data yang diberikan oleh peneliti. Pelaksanaan member check dapat dilakukan setelah satu periode pengumpulan data selesai atau setelah mendapatkan suatu temuan atau kesimpulan.
2.2  Pengujian Transferability
Transferability merupakan validitas eksternal dalam penelitian kualitatif. Validitas eksternal menunjukkan derajat ketepatan atau dapat diterapkannya hasil penelitian kepada populasi tempat sampel penelitian diperoleh. Nilai transfer ini berkenaan dengan pertanyaan sejauh mana hasil penelitian dapat digunakan dalam situasi yang lain. Bagi peneliti naturalistik, nilai transfer bergantung kepada pemakai.
Agar orang lain dapat memahami hasil penelitian kualitatif sehingga ada kemungkinan untuk menerapkan hasil penelitian tersebut, peneliti dalam membuat laporannya harus memberikan uraian yang rinci, jelas, sistematis, dan dapat dipercaya. Dengan demikian, pembaca menjadi jelas dalam memahami hasil penelitian tersebut sehingga ia dapat memutuskan dapat atau tidaknya mengaplikasikan hasil penelitian tersebut di tempat lain.
2.3  Pengujian Dependability
Dependability disebut juga dengan reliabilitas. Penelitian yang reliabel adalah apabila orang lain dapat mengulangi/mereplikasi proses penelitian tersebut. Dalam penelitian kualitatif, uji dependability ditempuh dengan cara melakukan audit terhadap keseluruhan proses penelitian. Audit dilakukan oleh auditor yang independen atau pembimbing. 
2.4  Pengujian Conformability
Pengujian conformability dalam penelitian kualitatif disebut juga objektivitas penelitian. Penelitian dikatakan objektif jika hasil penelitian telah disepakati banyak orang. Menguji conformability berarti menguji hasil penelitian, dikaitkan dengan proses yang dilakukan. Bila hasil penelitian merupakan fungsi dari proses penelitian yang dilakukan, dapat dikatakan bahwa penelitian tersebut telah memenuhi standar conformability. Dalam penelitian jangan sampai proses tidak ada, tetapi hasilnya ada.